Minggu, 06 September 2009

Said BUdairy: NU perlu perbaikan yang mendasar


Porak-porandanya Nahdlatul Ulama (NU) harus ditelusuri sejak kapan mulai dan kenapa sampai terjadi? NU mulai porak-poranda sejah tahun 1973 ketika berfusi kepada Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Ketika itu, seluruh pengurus PBNU, merangkap anggota DPR, seolah memindahkan kantor ke gedung parlemen. Sementara kantor PBNU di Kramat Raya 164 sepi seperti kuburan. Gedungnya berantakan seperti gudang tak bertuan.

Kondisi seperti itu membuat anak muda NU, seperti Sahal Mafudz, Mustofa Bisri, Tohlah Hassan, dan yang lebih muda lagi, Abdullah Sarwani, Fahmi D Saifuddin, gelisah dan prihatin. Mereka lalu mengisi kegiatan kantor PBNU. kemudian bergerak melakukan pendekatan ke cabang-cabang seluruh Indonesia. Surat-surat cabang yang dialamatkan ke PBNU tidak ada yang ngurus karena PBNU tidak berfungsi.

Wal hasil, anak-anak muda membentuk majelis beranggota 24 orang. Dari diskusi panjang akhirnya berkesimpulan NU harus kembali ke khittah 1926. Lebih teknis membentuk tim 7 yang bertugas menyediakan bahan-bahan dasar dan pokok pikiran tentang kembali ke khittah 1926.

NU sudah kehilangan identitas. Selama 25 tahun NU kepemimpinan NU hanya satu orang, yakni KH Idham Cholid. Tidak ada satu orang pun yang berani mengantikan posisi Idham Cholid. Berbeda sekarang, semua orang berebut ingin jadi ketua umum PBNU. Kepemimpinan Idham Cholid terlalu ngurus politik sementara umat terabaikan. Karena itu, kepemimpinan NU harus diganti.

Ternyata keinginan sejumlah anak-anak muda itu sejalan dengan keinginan para kiai sepuh. Gagasan-gagasan tentang kembali khittah disampaikan pada Munas alim ulama tahun 1983 di Situbondo. Munas merekomendasikan Muktamar untuk memutuskan kembali ke Khittah 1926.

Satu hal paling lain yang disepakati pada munas adalah pergantian kepemimnan NU. Para kiai harus perlu mendatangi Idham Cholid untuk mendesak agar tidak mencalonkan kembali. Namun Idham Cholid tampaknya tetap ingin mempertahankan posisinya. Akhirnya munculah kelompok yang disebut kubu Cipete dan kubu Situbondo.

Untuk mengalahkan kubu Cipete yang didukung kekuasaan, kubu Situbondo, yang terdiri dari anak-anak muda, menggunakan strategi ahlul halli wal ’aqdi untuk mengantarkan KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menjadi ketua umum PBNU. kalau tidak, Idham Cholid bisa terpilih kembali.

Perjalanan khittah

Lantas bagaimana realisais awal kepemiminan Gus Dur? Karena niatnya sungguh-sungguh membangun NU menjadi organisais keagamaan Gus Dur mampu menjalankan amanah dengan baik. Pertama yang dilakukan adalah mendirikan Lakpesdam (Lembaga pengembangan sumberdaya manusia).

Pendirian Lakpesdam sebagai respon terhadap kesepakatan khittah bahwa NU paling lemah adalah sumberdaya manusia (SDM). Oleh karena itu, harus dibangun sumberdaya manusa yang tangguh. Abdullah Sarwani (mantan dubes Lebanon) memimpin Lakpesdam pertama kali. Lalu saya melanjutkan memimpin Lakpesdam NU tahun 1987.

Yang terpikir ketika itu adalah memindahkan kantor Lakpesdam dari gedung PBNU. Pasalnya, selama budaya kantoran PBNU yang buruk tidak akan mampu meningkatkan kerja Lakpesdam. Melalui berbagai cara, saya mencari sponsor NU agar Lakpesdam dapat ngontrak untuk kantor.

Suasana, ritme dan kultur kerja di kantor Lakpesdam NU dirubah total. Sampai-sampai KH Ali Yafie ketika menyampangi kantor Lakpesdam kaget. Dia berkata, “Nah ini baru kantor tidak seperti di PBNU yang semrawut.” Maklum saja suasana dan ritme kerja sangat berbeda dengan di gedung PBNU.

Hingga kini manajemen organisasi yang dibangun Lakpesdam menjadi contoh lembaga lain. kini perpustakaan Lakpesdam menjadi perpusatakaan PBNU. sayangnya budaya di Lakpesdam belum menular ke lembaga lain. ketika Untuk pertama kali menyerahkan kepemimpinan Lakpsedam menyisakan saldo Rp 100 juta.

Bukan tempat berpolitik

Menyikapi perkembangan NU dan politik dewasa ini sesungguhnya sangat jelas karena nilai-nilai khittah tidak dijalankan secara baik dan benar. Khittah sangat arti dan maknanya. Khittah menjelaskan NU bukan tempat untuk bermain politik praktis. Sebagai warga negara NU memberikan hak menggunakan politik sesuai akhlakulkarimah. Itulah rumusan Khittah. NU sudah menyediakan lahan lain, yakni partai politik.

NU masih mampu menjaga khittah secara konsiten hingga muktamar di Yogyakarta 1989. Namun pertengahan hasil Muktamar Gus Dur mulai bermanuver politik. Manuver Gus Dur terus menerus sampai akhirnya menjadi presiden. Herannya pengganti Gus Dur, KH Hasyim Muzadi ikut tersert bermanuver politik.

Disinilah kegagalan demi kegagalan mulai terjadi. Berdirinya PKB tidak lantas membawa perubahan. Justru konflik berkepanjangan terus mendera politik NU. PKB juga tidak mendapat dukungan dari warga NU secara signifikan. Ditambah kekacauan menimpa internal PKB yang berawla dari pecat memecat.

Akhirnya lahirlah partai-partai baru yang mengatasnamakan NU. Partai yang merasa didukung warga NU saling membesarkan diri sendiri. Terjadilah tarik-menarik kiai yang dibawa ke ranah politik.

Sebetulnya sudah EGP (emang gwa pikiran ) melihat kesemrawutan yang melanda NU. Intrik dan uang sudah mewarani kepengurusan NU. Jadi memang harus ada perbaikan yang mendasar di tubuh NU. Kiai-kiai harus kembali ke maqom-nya. saefullah

KH NOER MOHAMMAD ISKANDAR SQ: Pesantren bakal jaga teritorial NKRI



Apa latar belakang anda membuat konsep Pesantren Bela Negara ini?

Pertama, terhadap dunia terorisme, yang kemudian stigma terorisme itu diarahkan kepada pondok pesantren. Padahal, pondok pesantren sudah merasa terteror dengan keadaan itu, dan juga tertertor dengan bermacam berita yang menyudutkan pesantren. Seperti flu babi, yang diarahkan ke pondok-pondok. Namun setelah saya telepon beberapa pesantren, tidak ada berita semacam itu.

Anda melihat ada upaya mendiskreditkan pesantren?

Ya, ini ada upaya-upaya strategis untuk menyudutkan pondok pesantren. Saya merasakan ada gejala dan upaya depesantrenisasi dan dekiaisasi.

Mengapa stigma itu bisa melekat di pesantren?

Kita sadari masih banyak pondok-pondok yang tidak mampu karena keterbatasannya atau karena pemahaman yang begitu sempit. Itu yang harus kita jelaskan. Bukan karena nasionalismenya tidak ada tapi karena pemahaman agama yang sempit.
Ini relitas, kenyataan yang ada, kemarin itu ada anak-anak yang melakukan teror itu bagian yang pernah mengenyam pendidikan di pesantren. Ini yang kemudian digeneralisir.

Secara konkret, apa yang akan dilakukan Pesantren Bela Negara?

Hari ini kita sudah mulai melangkah dan melakukan kerjasama dengan Gubernur Bengkulu (Agusrin M Najamuddin, red) untuk menyebarkan 1.300 santri di 1.300 desa dalam upaya untuk menangkal terorisme, paham-paham yang salah dan paham yang menyesatkan.
Saya melihat, stigma terorisme itu sedemikian rupa diarahkan ke pesantren. Nah, kita berupaya untuk menyelamatkan stigma itu dan caranya pesantren membela negara.

Lantas, bagaimana menjawab semua itu?

Kita bikin aktifitas, bikin kegiatan bahwa nasionalisme masyarakat kita tinggi, bahwa pondok itu merupakan founding father dari republik yang ada. Lebih jauh, melalui MSKPI mengingatkan kepada elit politik agar tidak menjualbelikan keamanan kepada negara asing dalam kondisi situasi politik kita seperti ini.
Karena, bermacam-macam bentuk orang yang mengail di air keruh, ada yang karena tidak suka dengan pesantren, ada yang hendak mengadu domba umat Islam dan sebagainya.

Selain masalah terorisme, permasalahan apa yang menjadi perhatian Pesantren Bela Negara ini?

Masalah kedua, adalah ulah negeri jiran (Malaysia, red). Saya melihat Malaysia ini selalu memanfaatkan krisis yang ada di republik ini untuk kemudian bermain-main dengan teritorial.
Ada upaya penyerobotan-penyerobotan terhadap bagian dari NKRI. Padahal NKRI itu final. Sebagai anak-anak bangsa yang merasa bahwa founding father republik ini adalah para ulama, maka kita merasa perlu untuk membentengi republik ini dengan pondok pesantren.

Apa yang akan dilakukan pesantren untuk menjaga teritorial?

Kita akan membekali para santri, para alumni dan para kiai tentang perlunya kesadaran bersama untuk mempertahankan Indonesia, jangan sampai ada sejengkal pun bagian republik ini diambil orang lain. Karena itu akan menjadi preseden yang tidak baik.
Saya juga ingin agar pondok pesantren itu membekali dirinya dengan pengetahuan ekonomi rakyat sehingga benteng yang ada di republik ini bukan hanya benteng kekuatan fisik tapi juga ekonomi dan kesejahteraan. Dan ini jauh lebih menarik.

Apa yang menjadi kekhawatiran kiai sehingga pesantren perlu membentengi teritorial?

Kalau anda melihat di berbagai belahan republik yang berbatasan dengan Malaysia, itu ada masyarakat yang lebih senang menggunakan mata uang ringgit. Mereka lebih senang menjadi bangsa Malaysia, sehingga nasionalisme itu tipis.
Nah, keinginan kami bagaimana pondok-pondok itu mengisi ribuan perbatasan dengan Malaysia yang kosong. Sudah sekian tahun kita merdeka namun masih belum bisa membentengi Indonesia dengan benteng-benteng dengan mengisi masyarakat di perbatasan yang kosong. Dan kita ingin santri dan pesantren bisa tampil ke depan untuk bersama-sama membela perbatasan Indonesia.[kml]

Pesantren Ramadhan “Bela Negara” Asshidiqiyah

Tumbuhkan kesadaran potriotisme santri

ASHADI AHZA
KEBON JERUK

-----------------
Santri tak melulu berkutat dengan ilmu agama. Juga harus paham prinsip-prinsip dasar membela negara, untuk menghapus stigma bahwa pesantren tempat kaderisasi teroris.
-----------------

PONDOK Pesantren (Ponpes) Asshidiqiyah Jakarta adalah salah satu pesantren yang punya komitmen terhadap pentingnya kesadaran mebela negara. Di bulan suci Ramadhan ini, pesantren asuhan KH Noer Mohammad Iskandar SQ tersebut mengadakan kegiatan yang dibingkai lewat Pesantren Ramadhan “Bela Negara”.

Kegiatan yang dilaksanakan selama dua hari, Jumat (4/9) dan Sabtu (5/9) di Kompleks Ponpes Asshidiqiyah Kebun Jeruk, Jakarta Barat yang dikuti 150 peserta terdiri dari perwakilan pesantren se-DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten.

Nara sumber yang dihadirkan dari berbagai disiplin keahlian, di antaranya Drs Muhtar Hadiyu MSi (pakar pengembangan patriotisme), Drs Khoirul Fuad Yusuf (Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Depag RI) dan Joko Pramono Shidiq (Departemen Pertahanan). Hadir pula pada anggota komisi I DPR, Drs Slamet Effendi Yusuf.

Ketua panitia, Mahrus Iskandar menuturkan, pesantren sebagai basis pendidikan dan kaderisasi Islam, terbukti memiliki peranan penting dalam perjuangan dan upaya mempertahankan kemerdekaan RI.

“Dengan pesantren yang tersebar di seluruh penjuru nusantara, menyimpan potensi besar untuk menjaga negara dari berbagai ancaman,” katanya pada Duta, Sabtu (5/9) kemarin.

Akhir-akhir ini, lanjut Mahrus, pesantren wajah sedikit 'tercoreng' karena dikaitkan dengan ulah teroris di negeri ini. Tak berlebihan jika kemudian Amerika Serikat (AS) mulai membidik pesantren sebagai basis terorisme di Indonesia. Dalam hal ini, salah satu yang paling dibidik adalah kurikulum dan pola pengajarannya.

Stigmatisasi terhadap pesantren sebagai sarang teroris ini, papar Mahrus, disebabkan adanya oknum pesantren yang terbukti melakukan tindakan teror. Para pelaku pemboman di Bali, Jakarta dan daerah-daerah lain yang kebetulan sebagian pelakunya adalah santri pondok pesantren, secara otomatis mengakibatkan citra buruk pondok pesantren di mata masyarakat Indonesia, dan bahkan masyarakat internasional.

“Mereka mencurigai pesantren telah menjadi ajang penyemaian teroris. Bahkan, ada pihak yang mengusulkan supaya kurikulum pondok pesantren diubah,” tandasnya.

Pahami jihad

Di sisi lain, Khoirul Fuad Yusuf menyatakan, konsep jihad dalam Islam memang dipelajari di pesantren. Namun ada beberapa kalangan yang salah dalam mengartikannya.

Jihad diartikan sebagai aktivitas mengangkat senjata dan membunuh musuh dalam kondisi apapun. Pemahaman semacam ini, katanya, merupakan pemahaman yang salah, dan inilah yang menimbulkan tuduhan bahwa kekerasan yang dilakukan sebagian umat Islam merupakan ajaran Islam itu sendiri.

“Islam sama sekali tidak membenarkan kekerasan, anarkis, dan terorisme. Di dalam kurikulum pendidikan pesantren juga tidak diajarkan kekerasan, apalagi tindakan teror,” tandas mantan peneliti senior di Litbang Depag RI.

Menurut Khoirul, jihad yang dipelajari di pesantren sangat berbeda dengan terorisme. “Jihad adalah salah satu metode dakwah sebagai pembelaan diri terhadap umat Islam, yaitu untuk mempertahankan agama, diri, harta dan kehormatan,” katanya.

“Hal ini tentunya sangat jauh berbeda dengan teror yang merupakan tindakan untuk menakut-nakuti, melakukan kekerasan sehingga menimbulkan korban harta atau jiwa.”
Sementara Isfah Abidal Ziz, fasilitator Pesantren Bela Negara mengatakan diklat ini menjadi penting mengingat makin kuatnya persaingan antara bangsa-bangsa.

“Bela negara sekarang ini tidak hanya tanggung jawab militer saja, juga para santri. Santri harus menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi untuk menjaga keselamatan dan kejayaan bangsa sekarang,” ujarnya.

Rabu, 26 Agustus 2009

Muhammad Jadul Maula (mantan Direktur LKiS Yogyakarta): NU Tergerus Efek Neolib


Bagaimana pandangan Anda tentang perjalanan Khittah Nahdlatul Ulama (NU)?
Membaca Khittah NU antara tahun 1984 dan pasca reformasi merupakan dua realitas berbeda. Sebelum reformasi, NU berada dalam rezim Orde Baru yang korporasi kekuasaan negara sudah terbentuk dengan sistem ketat. Suasana kebatinan NU waktu itu sangat tidak nyaman sehingga muncul semangat yang besar untuk keluar dari rezim kekuasaan yang otoritarian. Lalu lahirlah konsep khittah NU 1926.

Khittah selalu dimaknai sebagai keluar dari politik?
Maknanya tidak sesederhana NU keluar atau tetap berpolitik. Khittah dapat dimaknai sebagai saksi terhadap situasi zaman. NU menempatkan diri menjadi dinamisator dari situasi ketika itu. Lahirnya khittah bertemu dengan momentum wacana civil society yang memang secara idologis dan ilmu sosial sudah terbentuk. Sebagai Ketua Umum PBNU KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) berhasil meng-create suatu gerakan yang menempatkan NU menjadi simpul dari berbagai aspirasi gerakan civil society. Dukungan kondisi zaman membuat NU benar-benar menjadi organisasi yang disegani.

Di zaman reformasi?
Zaman reformasi situasinya berubah. Dimana terdapat regulasi yang memungkinkan masyarakat membolehkan mendirikan partai politik. Pendirian partai politik menjadi suatu kebutuhan. NU memang harus ikut mendirikan partai agar ada saluran representasi untuk terlibat dalam kehidupan bernegara. Seluruh elemen masyarakat, seperti Muhammadiyah dan kelompok masyarakat lain ikut mendirikan partai. Kerena memang menjadi tuntutan zaman.

Tapi kok politik NU tambah runyam?
Proses awal tidak masalah. Hubungan NU dan PKB serta partai politik dirumusan dengan sangat baik. Ada nilai Khittah plus 9 pedoman berpolitik NU. Tapi kemudian pada pelaksanaannya belum tersosialiasi. Tidak ada pelembagaan sistematis di NU yang mengerjakan sosialisasi tersebut. Faktornya komplek. Diantaranya kultur untuk mengimplemenatasi belum terjadi.

Jadi siapa yang patut disalahkan?
Ini bukan kesalahan orang per orang. Ini memang akibat munculnya liberalisasi politik yang sejalan juga dengan liberalisasi ekonomi. Kemudian memunculkan banyak gejolak di masyarakat. Di dunia politik permintaan posisi banyak sekali sementara kemampuan mensuplai sedikit. NU belum punya mekanisme yang dapat mensuplai kader, mana yang ke politik, mana yang ke pendidikan dan ke bidang lain. Maka yang terjadi adalah ketidakseimbangan peran. Perubahannya yang cepat tapi kemampuan antisipasi adaptasi tidak imbang. Saya ibaratkan seperti kayu jati. Dulu kayu jati ditebang setelah puluhan tahun untuk menjaga kualitas. Namun karena permintaan banyak, pohon jati yang masih muda sudah ditebang. Jadi masih PMII atau baru lulus pesantren, tapi tidak pernah belajar politik, karena populer sudah jadi anggota DPR. Padahal mereka belum matang. Jadi kejadiannya gejolak seperti ini.

Apakah lantaran elit NU lebih asyik berpolitik praktis?
Ini bukan semata-mata penentunya adalah karena manajemen organisasi tidak jalan yang disalahkan syahwat politik. Soal manajemen dan kaderisasi sudah terjadi sejak lama. Memang ketika KH A Hasyim Muzadi menggantikan Gus Dur harapannya adalah manajemen NU lebih baik. Karena kita tahu Gus Dur sangat lemah dalam hal manajemen. Tapi faktanya belum ada perubahan signifikan soal manajemen. Ada yang lebih mendasar secara umum pesantren juga belum siap menghadapi perubahan realitasi politik.

Ketidaksiapan itu apa efek yang paling dirasakan?
Lahir inkredibilitas diantara para ulama dan tokoh NU. Tidak cuma itu, terjadi pula distrust antara para kiai juga sekarang ini terjadi. Mereka saling curiga lantara perbedaan orientasi politik. Ini memang menyedihkan. Tapi saya percaya kiai dan ulama mempunyai kearifan dan dapat memilah mana kepentingan pribadi dan NU secara keseluruhan. Sehingga semua persoalan dapat diatasi dan selesai melalui tradisi NU.

Dahulu konflik antar pengurus NU dapat diredam dengan salawat badar. Kenapa sekarang tidak ampuh lagi?
Ini memang efek neolib yang sangat kepada umat. Prinsip neolib itukan persaingan individu melalui mekanisme pasar. Ini menyebabkan hubungan-hubungan sesama manusia menjadi anonim. Tradisi NU tergerus neolib.

Atau karena salawat badar sudah terkapitalisasi juga?
Ha.. ha.. ha.. memang terjadi degradasi spiritual. Orang NU tidak sadar. Yang berkuasa itu jiwa, nafsu atau hati. Dulu sangat diperhatikan tradisi di pesantren seperti muru'ah untuk mengendalikan nafsu. Saya tidak tahu apakah ilmu seperti itu masih dipraktekkan di pesantren NU. Sehingga dalam menghadapi situasi neolib NU larut apa tidak.

Anda melihat adakah faktor eksternal yang mempengaruhi situasi NU saat ini?
Memang perlu dicermati, apakah faktor eksternal, dalam hal ini negara ikut campur dan andil terhadap kondisi NU. Kalau yang bikin kisruh NU itu kalangan internal pasti dapat diselesaikan. Tapi kalau faktor eksternal yang ikut main tentuk harus kita lawan bersama.

Apa kepentingan negara ikut campur?
NU punya massa yang besar. Negara tentu butuh NU untuk menjadikan legitimator atas kebijakaan dan stabilitas serta kooptasi negara terhadap masyarakat.n saefullah

Laode Ida: Bobot Sebagai Moral Force Hilang


Begitu banyak hal yang harus dikritisi dari perjalanan NU dari masa ke masa. Perkembangan jaman membuat ormas keagamaan terbesar di tanah air ini menghadapi persoalan yang menuntut pemecahan secara cerdas. Reorientasi perlu dilakukan NU. Ini pandangan Laode Ida, pengamat NU yang juga Wakil Ketua DPD RI.

=============================

PADA dasawarsa 1980-an dan 1990-an terjadi perubahan mengejutkan di dalam lingkungan Nahdlatul Ulama (NU), ormas terbesar di Indonesia. Perubahan yang paling sering disoroti media massa dan sering menjadi bahan kajian akademis ialah proses ‘kembali ke khitthah 1926’: NU menyatakan diri keluar dari politik praktis dan kembali menjadi ‘jam’iyyah diniyyah’, bukan lagi wadah politik.

Dengan kata lain, sejak Muktamar Situbondo (1984) para kiai bebas berafiliasi dengan partai politik mana pun dan menikmati enaknya kedekatan dengan pemerintah. NU tidak lagi ‘dicurigai’ oleh pemerintah, sehingga segala aktivitasnya tidak lagi dilarang dan malah sering ‘difasilitasi’. Perubahan tersebut, walaupun merupakan momentum penting dalam sejarah politik Orde Baru, dapat dipahami sebagai sesuai dengan tradisi politik Sunni, yang selalu mencari akomodasi dengan penguasa.

Tetapi terjadi perubahan lain yang lebih mengejutkan: di kalangan generasi muda NU terlihat dinamika baru dengan menjamurnya aktifitas sosial dan intelektual, yang nyaris tak tertandingi oleh kalangan masyarakat lain. Selama ini NU dianggap ormas yang paling konservatif dan tertutup, dan sedikit sekali punya sumbangan kepada perkembangan pemikiran baik keagamaan maupun pemikiran sosial dan politik.

Perihal pemikiran keagamaan, NU justru didirikan sebagai wadah para kiai untuk bersama-sama bertahan terhadap gerakan pembaharuan pemikiran Islam yang diwakili oleh Muhammadiyah, Al Irsyad dan Persis. NU hanya menerima interpretasi Islam yang tercantum dalam kitab kuning ‘ortodoks’, al-kutub al-mu`tabarah, terutama fiqh Syafi’i dan aqidah menurut madzhab Asy’ari, dan menekankan taqlid kepada ulama besar masa lalu.

Pembaharuan pemikiran Islam, boleh dikatakan, secara prinsip bertentangan dengan sikap keagamaan NU. Dalam sikap politik dan sosial pun, NU dikenal sangat pragmatis dan kurang orisinal. Ketika Herb Feith dan Lance Castles menyusun sebuah antologi tentang pemikiran politik Indonesia setelah kemerdekaan (Indonesian Political Thinking 1945-1965. Cornell University Press, 1970), mereka mencantumkan tulisan dari semua aliran politik kecuali NU karena memang hampir tak ada satu pun pemikir politik NU yang menonjol saat itu.

Bobot politik
NU memang punya bobot politik yang cukup besar, karena massa yang bisa dimobilisasi dalam krisis politik. Pada zaman revolusi, dan juga pada zaman peralihan dari Orde Lama ke Orde Baru, orang NU telah memainkan peranan sangat menonjol -sebagai unsur utama laskar Hizbullah dan Sabilillah pada 1945-49, dan sebagai pelaku utama pembunuhan terhadap orang-orang PKI pada 1965-66. Berkat kekuatan fisiknya, NU memainkan peranan penting dalam perubahan politik dua masa peralihan tersebut. Tetapi sumbangan penting itu tidak pernah dapat diterjemahkan menjadi pengaruh nyata dalam pemerintahan, dewan perwakilan, maupun masyarakat sipil.

Dua figur NU yang paling menonjol pada masa peralihan tersebut, KH A Wahid Hasyim dan Subchan ZE, kemudian disingkirkan (dimarginalisir) dari sistem politik. Massa NU tak dilibatkan dan tetap berada di pinggiran. Tokoh NU yang bisa survive dekat pusat kekuasaan ialah KH Idham Chalid, politisi gaya lama yang tidak mewakili sikap atau ideologi tertentu dan selalu bisa beradaptasi dengan setiap perubahan.
Perlu dicatat bahwa Kiai Idham dengan segala kelonggarannya dalam berpolitik, agaknya, lebih mewakili pendirian kiai NU ketimbang tokoh seperti Wahid Hasyim atau Subchan ZE. Para kiai di daerah tidak pernah punya ambisi mengurusi negara, membuat undang-undang atau mempengaruhi kebijaksanaan sosial dan ekonomi.

Kebutuhan mereka lebih sederhana dan pragmatis: pesantren harus hidup, dan pengusaha di daerah yang mendukung kiai memerlukan tender. Dalam hal ini, Kiai Idham sangat pandai memenuhi kebutuhan daerah dan menjembatani jarak pusat daerah melalui hubungan patronase yang ia jaminkan.

Dengan latar belakang ini, aktifitas-aktifitas kemasyarakatan dan ekonomi di sekitar pesantren yang mulai menjamur pada akhir dasawarsa 1970-an dan 1980-an, dan munculnya wacana-wacana baru, yang berani mempertanyakan interpretasi khazanah klasik yang sudah mapan dan mencari relevansi tradisi Islam untuk masyarakat yang sedang mengalami perubahan cepat, merupakan suatu perkembangan revolusioner.

Akar rumput terabaikan

Baik dalam aktivitas LSM maupun dalam wacana yang berkembang, perhatian mulai bergeser dari para kiai sebagai tonggak organisasi NU kepada massa besar ‘akar rumput’ yang merupakan mayoritas jamaahnya tetapi kepentingannya selama ini lebih sering terabaikan.

Dominasi aktivitas dan wacana NU oleh elit tradisional, yang terdiri dari para kiai besar pendiri NU dan keturunan mereka (kaum gus-gus), telah mulai terdobrak. Sebagian besar aktifis dan pemikir muda yang memberi nuansa baru kepada NU pada dasawarsa 1980-an dan 1990-an tidak berasal dari ‘kasta’ kiai melainkan dari keluarga awam, yang mengalami mobilitas sosial.

Penarikan diri NU dari politik praktis membawa keuntungan dan kerugian sekaligus, baik bagi NU sebagai organisasi maupun bagi orang-orangnya. Kalau dulu patronase (dalam bentuk bantuan dari pemerintah dan berbagai macam fasilitas) mengalir melalui organisasi NU, dari PBNU ke wilayah dan cabang, setelah keputusan Situbondo setiap kiai bebas menjalin hubungan dengan bupati atau gubernur.

Dengan demikian, pengaruh pengurus pusat terhadap warga di daerah menurun drastis, dan sebagai organisasi NU kehilangan sanksi efektif untuk memaksakan loyalitas warganya. Akibatnya, NU tidak berbicara dengan satu suara lagi dalam perkara sosial dan politik yang penting, dan dengan begitu bobotnya sebagai moral force dalam sistim politik Indonesia pun hilang.

Berdirinya PKB sebagai wadah politik baru warga NU, dan kemudian terpilihnya KH Abdurrahman Wahid sebagai Presiden Republik Indonesia merupakan tantangan lebih berat bagi gerakan progresif NU. Mereka harus memilih antara arena politik praktis dan ‘perjuangan di jalur kultural’ yang telah menjadi ciri khas mereka.n ufi, ful


=============================================

Kembalilah pada orientasi perjuangan awal

PERKEMBANGAN Nahdlatul Ulama (NU) dewasa ini dinilai Laode Ida banyak tidak beres. Yakni umat sebagai basisnya tidak tergarap dengan baik. Ia menilai ada tiga pilar di dalam NU, yaitu pertama pilar kebangsaan (nahdlatul wathan), kedua pilar ekonomi (nahdlatut tujar), dan ketiga pilar pemikir (tashwirul afkar). Namun ketiganya sekarang mengalami kerancuan dan tidak konsisten.

Sedikitnya ada tiga faksi yang berkembang dalam NU. Yakni faksi intelektual, aktivis, dan politis. Namun sayangnya nuansa politiknya sangat kuat, mereka berebut menduduki partai-partai politik terutama yang berbasis NU tanpa mengindahkan moralitas. Sehingga NU saat ini kurang menarik untuk dikaji karena sama dengan yang lain

"NU bisa tinggal organisasi papan nama, jika tidak segera mengembalikan orientasi perjuangannya untuk membangun umat. Organisasi masyarakat Islam terbesar itu bahkan terancam ditinggalkan warganya. Kalau tidak segera melakukan reorientasi, NU bisa ditinggalkan warganya dalam arti mereka tidak akan mengikatkan diri lagi secara organisatoris dan ideologis. Mereka hanya merasa ada hubungan historis saja," paparnya.

Dalam kondisi seperi itu, kata Laode, ikatan ke-NU-an akan semakin tidak berarti dan semakin tergusur dengan ikatan kepentingan yang lain yang lebih rasional, seperti ikatan ekonomi. Warga NU akan semakin sulit diarahkan oleh para elite NU, jika kepentingannya tak sesuai dengan kepentingan mereka.
Kegagalan sejumlah tokoh NU memenangi pemilihan kepala daerah (pilkada) di wilayah yang sebenarnya basis NU, seperti di Bojonegoro, Jawa Timur, merupakan contoh kongkrit betapa ikatan emosional warga NU dengan organisasinya mulai melonggar.

Penyebab melonggarnya ikatan emosional warga NU dengan organisasinya, salah satunya adalah akibat perilaku elit NU sendiri yang lebih melibatkan diri atau terjebak dalam pragmatisme ketimbang memikirkan persoalan umatnya.

Terutama pragmatisme terkait kekuasaan dan materi. Perilaku semacam ini memudarkan derajat figur panutan dalam NU dan membuat warga merasa tidak ada manfaatnya mengikatkan diri secara organisatoris dengan NU.

Padahal, keberadaan figur merupakan salah satu pilar penyangga organisasi NU. Kondisi itu, katanya, berbeda dari organisasi Islam lainnya seperti Muhammadiyah. Organisasi yang didirikan KH Ahmad Dalan itu, dijalankan oleh orang-orang yang memiliki kesadaran berorganisasi yang tinggi. Organisasi ini dijalankan oleh orang-orang terpelajar sehingga semangat berorganisasi terbangun baik, apalagi mereka merasa menjadi ada karena organisasi.

Sebenarnya sejak era 70-an, NU sudah mulai kehilangan kharakter sebagai organisasi berbasis umat. Hanya saja saat itu masih ada tokoh-tokoh yang konsisten dengan perjuangan keumatan NU. Pergeseran orientasi NU semakin nyata setelah reformasi.

Jika ingin tetap eksis di masa mendatang, NU harus kembali ke bidang garapannya semula, yakni membangun umat, serta mempersiapkan kader yang benar-benar mau dan bisa menjalankan organisasi.ful

Jumat, 14 Agustus 2009

Membagi Peran Politik


Bagaimana Kang Said melihat NU dan politik?

Politik itu penting. Tetapi berbicara NU Khittah, harus dijaga sebatas mana kiprah berpolitiknya sehingga NU tetap terselamatkan. Kalah atau menang NU-nya tetap selamat. Berhasil atau gagal, NU-nya harus selamat. Silahkan Khofifah Indarparawansa ingin jadi gubernur, Saifullah Yusuf jadi wakil Gubernur, Pak Hasyim Muzadi mencalonkan wakil presiden dan lain-lain. Pasti niatnya baik yakni demi kebesaran NU. Niat sudah baik, tapi harus iringi pula misi menyelamatkan kebesaran dan kemuliaan NU.

Katakanlah menang. Tapi apakah kemenangan dapat membawa kemaslahatan NU. Apakah bila tokoh NU menjabat jabatan publik lalu nasib jamaah akan “katut” menjadi sejahtera. Jangan pula ketika tokoh NU menjadi pemimpin, justru lebih memperburuk citra NU.

Dewasa ini apa yang berkembang di tubuh NU terkait dengan pelaksanaan khittah?

Sebetulnya ada dua kelompok motivasi NU dalam memandang Khittah. Ada yang benar-benar memandang khittah karena emosional lantaran tersakiti oleh pihak lain. Kelompok ini cenderung akan mudah kembali lagi ke kiprah politik. Sementara kelompok yang murni khittah akan tetap betahan dan konsisten menjaga agar NU tidak terlibat secara praktis.

Sebaiknya bagaimana?

Kalaupun bermain politik mestinya main yang cantik. Harus ada manajemen politik yang baik. Masing-masing harus memainkan peran bersinergi yang menguntungan NU. Misalnya, yang “main politik” jangan ketua umum. Bisa saja didelegasikan kepada ketua bidang politik. Kelemahan kita yang pemain politiknya justru top leader. Ketika permainan dilakukan ketua umumnya, hal yang negatif terdampak secara langsung.

Sisi lain adalah regenerasi dan kaderisasi. Yang tua harus mempersilahkan generasi muda. Kekurangan Pak Hasyim Muzadi jauh dengan yang muda. Sampai terlibat polemik di media massa dan dibaca orang luar dengan Saifullah Yusuf. Dia terbawa emosi sehingga bersikap tidak etis.

Perbincangan apa yang belakangan mendominasi pengurus dan kader NU, terutama di Gedung PBNU yang megah itu?
Saat ini justru kondisi PBNU memprihatinkan. Kantor PBNU sepi dari aktifitas intelektual. Sekarang yang dibicarakan selalu politik, politik, dan politik praktis. Menjadi pembicaraan keseharian, siapa yang “dapat” dan dapat apa, lalu siapa kalah dan siapa yang menang. Memprihatinkan.

Soal transparansi juga tidak ada. Kini saatnya NU menuju era manajemen yang baik. Ternyata tidak ada kemajuan PBNU. Dari sisi manajemen organisasi dan kesekretariatan yang belum ada perubahan. Kesimpulannya, walaupun NU dipandang besar. Mayoritas. 40 juta katanya, namun didalam keropos. Kalau saya menjadi ketua umum, akan serahkan peran-peran strategis kepada anak muda.

Prof Dr KH Said Aqil Siradj: Pentingnya Manajemen Khittah Profesional


Diskusi Reboan yang digelar pertama kalinya di Kantor Biro Jakarta, Rabu (15/7) lalu, menghadirkan dua tokoh Nahdlatul Ulama (NU). Yakni Ketua Tanfidziyah PBNU Prof Dr KH Said Aqil Siradj dan Ketua Umum PP Muslimat NU Dra Hj Khofifah Indarparawansa. Sangat gayeng hingga berlangsung lebih dari 2,5 jam. Perbicangan mengalir seputar problem yang dihadapi NU masa kini. Kritik dan koreksi terlontar baik dari narasumber maupun redaksi Duta Masyarakat Biro Jakarta. Rangkuman pendapat dalam diskusi itu disajikan dalam halaman khusus edisi Jumat dan Sabtu.


=============================================================

KARENA NU merupakan organisasi keagamaan dan kemasyarakatan, maka saya akan bicara dari sisi sejarah Islam. Ketika Islam menjadi alat politik kehancuran Islam dimulai. Disitulah lahir fitnah dan konflik saudara mulai terjadi. Puncaknya terjadi saat perang saudara antara Ali bin Abi Thalib dan Aisyah, juga Ali dan Muawiyah. Tapi untung masih terselamatkan oleh beberapa ulama yang netral berfikir jernih. Berpolitik tapi membangun peradaban budaya ilmu pengetahuan Islam.

Dari sisi politik, sejak setelah jaman khulafaurrosyidin politik Islam X merah. Tidak ada kebanggan dari umat Islam oleh cara-cara berpolitik Muawiyah, Umaiyah, Abbasiyah, Usmaniyah. Tapi dari sisi kebudayaan perkembangannya sangat luar biasa. Tidak pernah terjadi kemajuan di dunia lain seperti pada kemajuan peradaban di Islam. Islam banyak melahirkan tokoh-tokoh jenius seperti Imam Syafi’i, Imam Buchori, Asya'ri, Mu'tazilah. Pemikiran mereka Tidak kalah dengan para filsuf Yunani.

Banyak ilmu pengetahuan ditemukan oleh intelektual Islam seperti Al Jabar, Astronomi, ilmu bumi, kamus, pandom, dan navigasi ada setelah Islam. Juga alat musik organ. Syafi'i melahirkan metodologi cara memahami al Qur'an dan hadits. Wal hasil Islam setelah 400 tahun itu masa puncak keemasan kebudayaan. Tapi secara politik tidak karu-karuan. Perang saudara. 400 tahun politik nol. Ini tertolong oleh produk ulama dibidang ilmu pengetahuan. Setelah itu masa kegelapan.

Kemudian ahlussunnah wal jamaah (aswaja) muncul yang dari sisi agama Imam Asy'ari ingin mengendalikan masyarakat agar tidak liberal tapi juga tidak boleh jumud. Tidak tekstual juga tidak mu'tazilah (liberal), kembali ke sunnah Rasul. "Qaulan wa fi'lan wa takriron" sesuai dengan sunnah Rasul ucapan, tindakan, sikap atau legitimasi itu ahlussunnah. Wal jamaah itu memberikan advokasi, memberi bimbingan kepada masyarakat. Jadi sejak lahirnya aswaja memang untuk kesejahteraan bukan untuk elit. Mu'tazilah itu elit. Tekstual dan ekstrim serta pakai jenggot sekarang.

Kenapa aswaja eksis? Karena meninggalkan politik praktis. Maka dalam kitab-kitab fiqih ahlussunnah itu tidak ada pembicaraan "faslun bil imamah as-siyasah" (pasal yang menjelaskan kepemimpinan politik). Beda dengan syiah atau mu'tazilah pasti ada bab yang menerangkan khusus tentang kepemimpinan politik. Kalaupun di aswaja, ada "fashlun imamah" hanya sebagai iman salat Jumat.

Dari sini terlihat bahwa Aswaja berjasa besar meningkatkan mengembangkan dan meningkatkan kualitas peradaban Islam. Menjaga tidak ada kepentingan politik, kepentingan etnis dan kepentingan lain. Maka lahirlah ulama sufi, seperti Al-Ghozali yang berjuang Islam tanpa kepentingan politik.

Sejak lahir, NU berangkat dari pesantren. Pesantren dulu dibangun oleh para kiai yang lari dari pusat kota. Cirebon ada 3 beradusara kiai lari dari keraton. Kakak pertama, KH. Sholeh membangun pesantren Benda, Kerep. Nyai Maimunah membangun pesantren Gedongan yang menurunkan saya. Dan Kiai Abbas Buntet. Ketiganya lari dari keraton. Artinya lari dari politik. Soal alasan lari lantaran kalah karena keraton sudah dikuasai Belanda, itu urusan lain.

Pesantren didirikan oleh para ulama yang menjauhi politik. Yang konsentrasi menyelamatkan perkembangan aqidah dan ahlak. Perkembangan selanjutnya setelah abad 19 Kiai wahab pulang dari Makkah. Lalu melihat ada Boedi oetomo, ada Syariat Islam ada kelompok abangan yang sudah ada perkumpulan.

Kiai Wahab lalu punya gagasan, kalangan santri harus punya wadah aktifitas yang tidak berpolitik tapi sosial dalam rangka memperkuat infrastrukur sosial. Sebab tidak mungkin akan ada pergerakan tanpa ada ikatan. Kiai wahab keliling Indonesia justru ingin membentuk wadah yang kemudian bernama Nahdlatul Ulama (NU). Tujuannya memperkuat infrastrukur sosial berasaskan Islam Aswaja. Belum sama sekali tentang politik kekuasaan. Tidak ada agenda dalam Kiai Wahab untuk politik kekuasaan. Tapi memperkuat dulu ideologi Islam yang bersinergi dengan semangat kebangsaan.

Kiai wahab, kiai sarungan, sudah punya pandangan sangat jauh yang memandang Indonesia bukan sebagai negara agama tapi nation state (negara bangsa). Itu mewarnai jagat kiai se Nusantara. Semua menerima konsep sinergi nilai Islam universal dan semangat kebangsaan. Kiai wahab mempersilahkan saja sosialis plus religius. Semua menerima konsep mensinergikan antara nilai Islam universal dengan semangat kebangsaan. Bukan nasionalis sebagai ideologi tapi sebagai semangat. NU berjalan baik dengan gagasan besar yang bermanfaat yang dirasakan bangsa Indonesia. Sampai Indonesia merdeka, NU memiliki andil besal.

Setelah NU sering dibohongi dalam berpolitik. Terakhir oleh HJ Naro pada pertarungan politik di Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang pada dasarnya dikerjai oleh HM Soeharto. Maka kiai-kiai arif dengan keputusan kembali ke khittah 1926 dalam Muktamar NU di Sitobondo. Tidak untuk kepentingan kekuasaan. NU bebas nilai perebutan kekuasaan. Silahkan ambil jabatan politik. Kalau orang NU mau ambil silahkan, asal tidak mengatasnamakan NU.

Ini sangat idealis. Dengan syarat kepemimpinan atau manajemen ditata yang baik, semua dari PBNU hingga ke bawah harus tahu manajemen khittah. Jadi bukan Khittah emosional atau khittah strategis, bukan ideologis. Setidaknya ada beberapa hal dalam manajemen khittah.

Pertama, manajemen khittah yang profesional dengan kemandirian. Ini yang berat bagaimana mengelola NU yang besar dengan mandiri. Karena harus punya dana sendiri. Kedua, keterbukaan. Pertama memang maklum. Selanjutnya akan tanda tanya besar, kemana, berapa? Apapun keterbukan yang tidak ada. Seluruh kegiatan NU, harus terbuka ada laporan dengan jelas. Seperti Harlah, ICIS, dan acara lain yang sukses dana kurang atau lebih tidak ada yang tahu. Keempat, at ta'awun, bagaimana membangun kerjasama dengan siapa saja tanpa kepentingan politik. Kalau benar-benar khittah, manajemennya harus at ta’awun al al-birri wa at-taqwa. Kalau kita membawa NU ke arah kepentingan politik tertentu, pasti tidak akan terjadi ta’awun yang menyeluruh. Pasti akan ada kemacetan komunikasi dengan kelompok politik tertentu.